Al-Ghazali
1. Biografi dan Pendidikannya
Nama asli
Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath
Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun
450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan
menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat,
sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama
Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka
ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya
hidup dan belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat
kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada
masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh
Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua
asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di
negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia
berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia
mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat
menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu
matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya
itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan
tak bertepi...”.[2]
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali
meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar,[3]ia pergi ke Mu’askar
untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari
pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh
kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan
ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk
akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar
(profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad.
Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4
(empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa,
baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia
menjauhkan diri dari keramaian.[4]
Di samping ia menjadi guru
besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan
(mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan
tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat
adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan
pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara
musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah
pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja
Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada
tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang
menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh
bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian,
pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi
Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali,
merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran
kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang
terkenal.[5] Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada
saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang
ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir
Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah
untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam
menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam
pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham Al-Muluk.[6]
Dalam
suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir
Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan
menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi
permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang
berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah
(tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah
Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun
disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti masyarakat
terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian
timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula,
gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya
untuk membuat kekacauan.[7]
Al-Ghazali merupakan seorang yang
berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia
selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi
khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering
menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia
singgahi dan terobosan yang ia lakukan antara lain:
a. Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.
b.
Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia
menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras
membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat
Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
c. kemudian ia menuju
ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di
mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu
pertama dari Allah.
d. tidak lama kemudian ia meninggalkan
Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama
ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun
berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan
kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e. Dari Palestina (Kairo),
iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak
berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama
Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya dari
tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama
Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan
ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia berasalan untuk melaksanakan
kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah
haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
f.
Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh,
madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama
(khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat
kelahirannya.[8]
2. Karya-Karya Al-Ghazali
Sebagai
seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun
untuk menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai
sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya.
Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang berapa jumlah buku
yang dikarang oleh al-Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh
Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang
berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala buku tersebut, Abdurrahman
mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya
al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat
dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab.
Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri
atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan
karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.[9]
Mengenai kitab-kitab
yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada
zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh,
fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.
a. Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama)
Ini
merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun
dalam keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus,
dan yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan
saja terkenal di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan
luar Islam.
b. Tahafut al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
c. Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
Kedua
kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal
merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya
peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan
sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai
mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :
i. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
ii. Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja,
iii. Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.[10]
d. Al-Iqtashad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam),
e. Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an),
f. Mizan Al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan),
Dalam
buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab
Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan
orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi
Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam.
g. Al-Maqasshid Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan),
h. Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq),
i. Al-Qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).
j. Al-Mustadhhir,
k. Hujjat Al-Haq (dalil yang benar),
l. Mufahil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul ad-din),
m. Kimiya As-sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah),
n. Al-Basith (fiqh),
o. Al-Wasith (fiqh),
p. Al-Wajiz (fiqh),
q. Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh),
r. Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil (tafsir 40 jilid),
s. Al-Mustasfa (ushul fiqh),
t. Al-Mankhul (ushul fiqh),
u. Al-Muntaha fi ‘ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat yang baik),
v. Mi’yar Al-‘ilmi,
w. Al-Maqashid (yang dituju),
x. Al-Madnun bihi ’ala Ghairi Ahlihi,
y. Misykat Al-anwar (pelajaran keagamaan),
z. Mahku An-Nadhar,
3. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
a. Metafisika
Untuk
pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat
terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan
seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata
dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak
mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal
menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka
disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena
tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah
mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti
kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal
untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang
filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang
mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya
kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya
untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat
sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika
(thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian,
Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan
filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat
metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan
karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan
dalam bagian selanjutnya.
b. Iradat Tuhan
Mengenai
kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal
dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan
sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu
menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan
undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang
masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan
undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita
lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu
dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap
dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian
ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden,
tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab
hakiki dari segala kejadian.[11]
Pengikut Aristoteles, menamakan
suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas),
sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu
peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk
menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut.
Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti
membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan
suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan
dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya
Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak
mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau
mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa
terbakar oleh api.[12]
c. Etika
Mengenai filsafat
etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya
dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika
Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika
Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq
Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat
al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia
sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti
pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar,
ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat
memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda
dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan
sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu
pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal
keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam,
mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya
pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang
berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran
yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis
antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama
haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam
melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang
makna-makna yang terkandung di dalamnya.[13]
4. Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat
Mengenai
pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang
filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya.
Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang
berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
”...sumber
kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf
besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya
..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam
menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian
ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ...,
mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan
agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf
menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu
daya yang dihiasi keindahan ...”[14]
Jikalau melihat ungkapan di
atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok
pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran
Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari
Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud
menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan
menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din.
Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang
keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat
justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali
menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan
filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari
sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut
sebagai seorang filosof?.[15]
Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:
1. Filosof Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
2. Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka
adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini.
Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak
menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya
Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap
mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak
mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti
hewan.
3. Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah
filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles
telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan
Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia
kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang
kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan
pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali
memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir. Kesalahan para
filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,
10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,
20.
Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan
dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan
dalam nereka hanya roh. [16]