Senin, 26 Januari 2015

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA TAHUN 2025



DUA belas tahun yang lalu, tepatnya tanggal 19 Maret 2001, pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2001, secara resmi menetapkan perubahan status sebuah perguruan tinggi swasta di Provinsi Banten yaitu Universitas Tirtayasa Serang menjadi perguruan tinggi negeri dengan nama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Peristiwa itu merupakan tonggak sejarah yang amat penting dalam perkembangan pendidikan tinggi di provinsi yang relatif belia ini. Sebuah “pintu gerbang” yang membentangkan jalan panjang bagi perubahan manejemen dan kinerja universitas tersebut. Betapa tidak, bermula dari hanya sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Hukum yang berdiri tahun 1981, disusul didirikannya Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Sekolah Tinggi Teknik pada tahun 1982, ketiganya kemudian berhimpun menjadi universitas swasta pertama di Banten, yang menjadi cikal bakal Untirta.

Ketika itu, tahun 1984, jumlah mahasiswa universitas yang masih “balita” itu tidak sampai seribu orang, tersebar di tiga fakultas saja, yaitu hukum, teknik, serta ilmu keguruan dan ilmu pendidikan. Dosennya pun hanya belasan orang, hampir tidak ada yang berpendidikan S2 apalagi S3. Lalu perkembangan itu, setahap demi setahap terjadi. Pada tahun 1989 misalnya, didirikan Fakultas Pertanian dan Fakultas Ekonomi. Jumlah mahasiswa dan dosen beranjak naik, sarana dan prasarana pendidikan mulai bertambah, kehidupan kampus terus berdenyut.

Angin segar era reformasi kemudian menstimulasi perubahan status perguruan tinggi swasta tersebut menjadi perguruan tinggi negeri. Pada saat itu jumlah mahasiswa universitas yang baru lahir tersebut kurang lebih 3600 orang dengan jumlah dosen sekitar 145 orang. Itulah selintas sejarah Untirta.
  
Kini, Untirta telah tumbuh pesat, berkembang menjadi perguruan tinggi negeri yang cukup besar. Mahasiswanya tidak kurang dari 13.000 orang, jumlah dosennya hampir 500 orang, 86% diantaranya telah berpendidikan S2 dan S3. Tingkat pendidikan dosen tersebut telah melampaui target rata-rata nasional. Jumlah fakultasnya pun telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan kondisi tahun 1984. Bahkan jumlah program studi (prodi) yang diampu telah melonjak drastis menjadi 23 prodi, termasuk tiga prodi di program magister. Belum lagi ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang terus meningkat, baik di kampus induk (2,78 Ha) maupun di kampus Fakultas Teknik di Cilegon (6,6 Ha). Lantas, di usia “remaja”nya saat ini,apa gerangan tantangan besar bagi Untirta? Harus ke arah mana metamorfosis Untirta diarahkan? Seperti apa perkiraan kondisi Untirta pada tahun 2025?  

TANTANGAN GLOBAL
Perkembangan Untirta sejak awal berdiri sampai menjadi seperti saat ini tentu patut disyukuri. Namun rasa syukur itu selayaknya disertai tekad kuat untuk berbenah menghadapi tantangan global yang menerpa dunia pendidikan, kini dan di masa datang. Tantangan pertama adalah internasionalisasi dan globalisasi, yang antara lain dicirikan oleh semakin derasnya arus lalu lintas barang dan jasa antar negara. Tenaga kerja dan para profesional asing dipastikan makin membanjiri Indonesia. Mobilitas mahasiswa dan dosen lintas negara diperkirakan juga akan makin tinggi.

Kompetisi antarnegara dan antar institusi dalam menyebarkan barang, jasa, dan pengaruhnya jelas akan makin tajam. Fenomena internasionalisasi dan globalisasi tersebut pasti mendorong perubahan lingkungan kerja di berbagai bidang dan menuntut berbagai keterampilan baru seperti penguasaan multi bahasa, teknik komunikasi, teknik negosiasi, pemahaman budaya dan regulasi antar negara. Singkatnya, dalam era globalisasi dibutuhkan kompetensi untuk menjadi "warga negara global" (global citizen). Standar kualifikasi lintas negara menjadi sebuah kunci sukses para profesional masa kini dan masa datang. Konsekuensinya adalah Indonesia harus menyiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Dan hal ini tidak mungkin dicapai tanpa pendidikan berkualitas, termasuk pendidikan di Untirta. Oleh karena itu Untirta harus bergegas mengevaluasi diri dan siap menyesuaikan sistem pembelajarannya dengan kebutuhan masa depan. Kompetensi dosen dan kurikulum di setiap program studi juga patut terus dibenahi.

Tantangan kedua adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sangat luar biasa, terutama teknologi informasi dan komunikasi, bioteknologi, serta nanoteknologi. Setiap negara sekarang berlomba-lomba mengembangkan dan menguasai IPTEK. Bahkan diyakini hanya bangsa yang penuh inovasi dan kreatifitas serta menguasai IPTEK yang akan berjaya. Untuk itulah sivitas akademika Untirta selayaknya sadar bahwa universitas bukanlah sekadar lembaga penghasil sarjana, bukan sekadar tempat menuntut ilmu, bukan pula sekadar tempat menularkan ilmu. Untirta harus lebih berperan sebagai produsen ilmu pengetahuan, sebagai persemaian sains dan teknologi. Untirta harus mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat mengungkit daya saing bangsa, membangun knowledge capital melalui riset. Sebab, suka atau tidak suka, ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge base economy) yang berkembang saat ini telah “memaksa” bangsa-bangsa untuk memperkuat penguasaan IPTEK. Dan, universitas termasuk Untirta, harus menjadi ujung tombak pengembangan dan penguasaan IPTEK di nusantara.

Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang antara lain mewajibkan perguruan tinggi berperan sebagai penghasil ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, telah mendorong perubahan metode dan jangkauan pembelajaran di universitas. Untirta, suka atau tidak suka, harus mengubah metode belajar dan mengajarnya menjadi berbasis riset, kalau tidak ingin sekedar dikenal sebagai  lembaga pengajaran semata.

Tantangan ketiga adalah tuntutan publik kepada perguruan tingi sebagai kekuatan moral dan kunci kemajuan peradaban. Perguruan tinggi, termasuk Untirta, dituntut berperan sebagai kekuatan moral, sebagai pilar kemajuan peradaban, penopang jati diri dan karakter bangsa, pengawal demokrasi dan reformasi di berbagai bidang serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu pendidikan di Untirta selayaknya mampu menumbuh kembangkan nilai-nilai unggul kemanusiaan. Untirta harus benar-benar berperan sebagai pengembang nilai-nilai luhur dan budaya unggul. Untirta dituntut menjadi kawah candra dimuka generasi penerus yang berakhlak mulia, berkarakter unggul, cerdas dan mampu berkompetisi dalam pasar global. Dengan perkataan lain, Untirta harus mampu menyiapkan warga negara global (global citizen). Disamping itu, Untirta dituntut mampu memperbaiki berbagai ketimpangan sosial di masyarakat. Untirta harus mampu "reaching beyond the wall".

Sementara itu tantangan keempat adalah pendanaan publik (pemerintah) bagi pendidikan tinggi yang terbatas dan bersaing dengan sektor lain. Hal ini menuntut perguruan tinggi untuk mampu mengakses sumber-sumber pendanaan lain, termasuk melalui riset dan pengembangan serta kolaborasi dengan berbagai institusi dan industri. Sejalan dengan itu, budaya kewirausahaan harus makin tumbuh berkembang di perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi dituntut berbudaya kewirausahaan, mampu menciptakan lapangan kerja, menumbuh-kembangkan berbagai usaha yang inovatif-kreatif, menyebarkan kemaslahatan bagi masyarakat. Kemampuan income generating oleh perguruan tinggi akan merupakan sebuah keniscayaan.

PERSPEKTIF TAHUN 2005
Pada tahun 2025 Indonesia diprediksi menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke 11 atau ke 12 di dunia dengan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar USD 4 triliun dan pendapatan per kapita sekitar USD 15.000. Pada saat itu jumlah penduduk Indonesia diperkirakan tidak kurang dari 275 juta jiwa, 70% diantaranya tergolong usia produktif (working age). Pada saat itulah Indonesia akan mengalami puncak "bonus demografi" dimana sebagian besar penduduknya berada usia produktif (rasio antara penduduk muda dan lanjut usia terhadap working age sangat rendah). Apabila struktur populasi ini ditunjang oleh tingkat kesehatan dan pendidikan yang baik, maka akan menjelma menjadi kekuatan penggerak peradaban dan daya saing bangsa yang luar biasa.

Sebaliknya apabila tingkat kesehatan dan pendidikan sebagian besar penduduk tersebut rendah maka itu akan menjadi beban nasional yang amat besar. Oleh karena itu menjelang tahun 2025, Untirta diharapkan menjelma menjadi pusat pengembangan sumber daya insani dan IPTEK yang berkualitas dan mendapat pengakuan (recognition) pada skala nasional dan internasional.

Ini bukanlah impian! Sebab, dengan modal sejarah yang cukup panjang, dengan posisi geografis yang sangat strategis, yakni berdampingan dengan pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis nasional, bahkan tepat berada di jalur ekonomi terpenting di Pulau Jawa, dan berlokasi di provinsi yang berpotensi besar untuk maju pesat, didukung oleh besarnya kebutuhan masyarakat Banten akan layanan pendidikan tinggi, serta kondisi Untirta yang saat ini cukup menjanjikan, maka tahun 2025 Universitas tersebut sudah selayaknya menjelma menjadi perguruan tinggi berkualitas unggul dan masuk ke dalam 10 besar perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Patut dicatat bahwa secara lokal, saat ini Untirta nyaris tanpa pesaing. “Daya tarik” alias demand –nya juga relatif tinggi. Apalagi kalau pada tahun 2020 Jembatan Selat Sunda sudah terbentang menghubungkan Provinsi Banten dan Provinsi Lampung, jelas akan mendongkrak daya tarik dan posisi strategis Untirta secara nasional. Jadi, asalkan tata kelolanya terus dibenahi dan budaya akademiknya terus dipupuk, maka harapan tersebut bukanlah impian.

Pada tahun 2025 itu diperkirakan jumlah dosen Untirta telah dua kali lipat dari jumlah saat ini, 90% diantaranya telah berpendidikan S3. Pembelajaran dan pengembangan sains dasar, teknologi kreatif, dan berbagai soft skills telah lebih kokoh. Paradigma pembelajaran telah bergeser dari teacher centered ke student centered learning. Belajar sepanjang hayat (life-long learning) dan kewirausahaan telah menjadi budaya para lulusannya. Setiap dosen Untirta juga telah mampu mempublikasikan hasil penelitiannya dalam jurnal ilmiah bertaraf internasional, setidaknya satu publikasi per tahun. Bahkan setiap guru besar Untirta setidaknya setiap dua tahun  menerbitkan satu buku yang mengandung sintesis dari hasil penelitian masing-masing. Dengan demikian Untirta akan makin dikenal secara regional maupun internasional. Mahasiswa dari negara lain bukan tidak mungkin mulai tertarik belajar di Untirta. Bahkan kerja sama internasional diperkirakan makin mewarnai kehidupan kampus, oleh karena itu pada tahun 2025 di Untirta diharapkan sudah terbentuk biro atau direktorat kerja sama internasional yang aktif mengakses dan mengelola kerjasama internasional dengan berbagai perguruan tinggi di luar negeri.

Sejalan dengan itu setidaknya 30% materi kuliah yang disampaikan di kelas merupakan bagian dari hasil riset masing-masing dosen. Ketika itu publik juga mengapresiasi Untirta karena setidaknya 20% dari jumlah dosennya telah memperoleh paten atas karya ilmiahnya. Belum lagi dengan berbagai kegiatan pengabdian masyarakatnya, Untirta ketika itu menjadi andalan daerah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desa binaan Untirta (desa lingkar kampus) makin banyak yang mandiri dan sejahtera. Inilah bentuk pengamalan dari spirit “Al-Maun”. Dengan itu semua Untirta insyaallah benar-benar menjadi rahmatan lil alamin. Semoga.

Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika,
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Sekretaris Jenderal Kemdikbud (2006-2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar