Aristoteles lahir tahun 384 S.M. di Stagyra di daerah Thrakia, Yunani
Utara. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia di Athena dan
sampai 347 S.M. menjadi murid Plato. Pada 342 S.M. ia diangkat menjadi
pendidik Iskandar Agung muda di kerajaan Raja Philippus dari Makedonia.
Tahun 335 ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang namanya
Lykaion, nama salah satu gelar dewa Apolo.
Karena caranya
mengajar dan caranya bertukar pikiran dengan kelompok-kelompok kecil,
berlangsung sambil berjalan-jalan, maka sekolahnya dijuluki juga
peripatetik, yang sebenarnya adalah pusat penelitian ilmiah. Tahun 332,
setelah kematian Iskandar Agung, ia harus melarikan diri dari Athena
karena ia, seperti Sokrates 80 tahun sebelumnya, dituduh menyebarkan
ateisme. Ia meninggal tahun 322 S.M.
Meskipun 20 tahun
menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang idea.
Menurutnya, tidak ada idea-idea abadi. Apa yang dipahami Plato sebagai
idea sesungguhnya adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas
inderawi sendiri. Dari realitas inderawi konkret, akal budi manusia
mengabstraksikan paham-paham abstrak yang bersifat umum. Begitu,
misalnya, akal budi mengabstraksikan paham “orang” atau “manusia” dari
orang-orang konkret-nyata yang kita lihat, yang masing-masing berbeda
satu sama lain. Akal budi mampu untuk melihat bahwa si Azis, si Tuti,
Profesor Aleksander, dan Ibu Meli sama-sama manusia, manusia dalam arti
yang sepenuhnya, sepenuhnya manusia.
Menurut Aristoteles,
ajaran Plato tentang idea-idea merupakan Interpretasi salah terhadap
kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang
hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan itu tidak perlu
menerima alam idea-idea abadi. Aristtoteles menjelaskannya dengan
kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat
bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Pendekatan
Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata inderawi.
Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan mendukung
pengembangan ilmu-ilmu spesial. Begitu pula, Aristoteles menolak paham
Plato tentang idea Yang Ilahi, dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan
kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang ilahi itu. Menurut
Aristoteles, paham Yang Ilahi itu sedikitpun tidak membantu seorang
tukang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik, atau
seorang negarawan untuk mengetahui bagaimana ia harus memimpin
negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat kehidupan manusia
menjadi bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia
sendiri, harus mulai dengan suatu pengamatan. Salah satu pengantar dan
prasyarat filsafat pengetahuan yang dihargai dan dikembangkan
Aristoteles ialah logika. Logika dimengerti sebagai kerangka atau
peralatan teknis yang diperlukan manusia supaya penalarannya berjalan
dengan tepat. Dasar logika Aristoteles adalah uraian keputusan yang kita
temukan dalam bahasa “the analysis of the judgement as found and
expressed in human language“. Uraian keputusan itu mencakup penegasan -
pemungkiran - universal - partikular dan beberapa pertanyaan berikut
ini. Bagaimana dan mengapa subjek dan predikat boleh atau tidak boleh,
dan mengapa demikian?
Manakah syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar serangkaian proposisi secara sah dan tepat memungkinkan
suatu kesimpulan baru ditarik? Seluruh logika tradisional Aristoteles
itu mempunyai keistimewaan ganda. Di satu pihak, berasal dari pengamatan
yang teliti tentang susunan bahasa (Yunani). Di lain pihak sekaligus
mengangkat unsur-unsur keniscayaan (necessity) dalam uraian bahasa itu.
Dalam bahasa modern dapat dikatakan bahwa dalam logikanya, Aristoteles
menggabungkan unsur empiris-induktif dan rasional-deduktif. Selain itu
dalam Topyka, karyanya dalam bidang logika, ia merintis penyelidikan
tentang cara kerja ilmu-ilmu empiris dalam mencari hukum-hukum universal
berdasarkan pengamatan.
Selain uraian mengenai teknik
pengembangan pengetahuan dalam logika, Aristoteles berjasa juga dalam
usahanya untuk menggambarkan tahapan-tahapan kemajuan pengetahuan
manusia. Sokrates mulai dari pengetahuan inderawi yang selalu
partikular. Kemudian melalui abstraksi menuju pengetahuan akal budi yang
bercirikan universal. Dalam hal filsafat pengetahuan, Aristoteles
merupakan kebalikan dari filsafat pengetahuan Plato. Dasar filsafat
pengetahuan Aristoteles bukanlah intuisi melainkan abstraksi. Titik
pangkalnya filsafat manusia Aristoteles adalah manusia sebagai subjek
pengetahuan .
Aristoteles menentang dualisme Plato tentang
manusia. Sebenarnya bukan hanya pandangan Plato mengenai manusia yang
ditentangnya, ia mengembangkan juga apa yang dinamakan “hylemorfisme“.
Artinya, ia beranggapan bahwa apa saja yang kita jumpai di bumi kita ini
secara terpadu merupakan pengejawantahan material (”hyle“) sana-sini
dari bentuk-bentuk (”morphe“) yang sama. Umpamanya, pohon cemara, sapi,
manusia. Dengan demikian pertentangan-pertentangan “klasik” dari masa
pra-Sokrates dipecahkan Aristoteles dengan membedakan maupun menegaskan
kesatuan unsur materi dan bentuk dalam setiap makhluk (sekaligus “
materialized form” dan “ formed matter“). Dengan demikian ia berusaha
menerangkan banyaknya individu yang berbeda-beda, dalam satu “jenis”
(”spesies“). “Bentuk” (”morphe“, “form“) dianggapnya sebagai yang
memberi “aktualitas” pada individu yang bersangkutan. Sedangkan “materi”
(”Hyle“, “matter“) seakan-akan menyediakan “kemungkinan” (Yunani:
“dynamis“, Latin: “potentia“) untuk pengejawantahan bentuk dalam setiap
individu dengan cara yang berbeda-beda. Bentuk dalam hal makhluk hidup
diberi nama “jiwa” (Yunani: “psyche“, Latin: “anima“, yang berlaku sama
saja untuk tetumbuhan, hewan dan manusia. Hanya jiwa manusia yang
mempunyai kedudukan istimewa, karena manusia berkat jiwanya yang khas
itu tidak hanya sanggup “mengamati” dunia di sekitar secara inderawi,
tetapi sanggup juga “mengerti” dunia maupun dirinya. Di samping itu
adalah karena jiwa manusia dilengkapi “nous” (Latin: “ratio” atau
“intellectus“) yang menerima, dan malahan mengucapkan “logos” (sabda,
pengertian) yang pada gilirannya menjelma dalam sabda-sabda “jasmani”
yang diberi nama bahasa. “Nous” atau akal budi merupakan bagian paling
mulia dalam diri manusia.
Tak mengherankan kalau sesuai
dengan keyakinan itu, unsur-unsur filsafat ketuhanan yang kita temukan
dalam karya Arsitoteles, bertitik pangkal pada uraian kemampuan akal
budi itu. Namun, berbeda dari kontemplasi terhadap idea-idea gaya Plato,
Aristoteles dalam hal ini juga mencari dasar uraiannya dalam pengamatan
inderawi di dunia yang berubah-ubah ini. Umpamanya pengamatan mengenai
gejala adanya gerak-gerak fisik saja. Secara spontan kita mencari
penggeraknya, yang pada giliranya tidak bebas dari gerak (dan perubahan)
juga. Mungkin kita bisa maju sampai sederetan besar gerak dan
penggerak.
Hampir-hampir tanpa ada habisnya (deretan tak
berhingga). Lambat laun muncullah keyakinan dalam diri manusia pengamat
bahwa deretan macam itu belum memuaskan keinginannya untuk mengetahui
dan terutama untuk mengerti. Sadarlah manusia bahwa ia “harus berhenti”
dalam penyelidikan terhadap mata rantai berikutnya dan berikutnya lagi
dan lagi. Ia merasa perlu memandang rantai, rangkaian atau deretan itu
sebagai deretan. Dari manakah adanya deretan yang tak berhingga itu?
Menurut Aristoteles, “nous” pada lapisan atau tahapnya yang tertinggi
memahami bahwa kemampuannya untuk menatap deretan itu sebagai deretan,
yang mengandung kemampuannya untuk menegaskan adanya “yang menggerak
tanpa digerakkan sendiri” (”motor immobilis“). Keyakinan itu dihasilkan
“nous” bukan sebagai “nous pathetikos” (”intellectus passivus” atau
“possibilis“) yang terutama dipengaruhi oleh kesan-kesan inderawi,
melainkan sebagai “nous poietikos” (”intellectus agens“) yang ikut
menentukan isi pemahamannya secara aktif, karena suatu “daya pencipta”
yang ternyatalah termuat di dalamnya. Jalan pikiran Aristoteles itu
diterapkan Thomas Aquinas dalam “panca marga”-nya (”quinque viae“) guna
menyatakan adanya Tuhan berdasarkan pengalaman dan penalaran filosofis.
Cukup
banyak uraian terdalam Aristoteles ditemukan dalam karyanya yang diberi
judul Metafisika. Asas-asas terdalam yang digarap filsafat mengenai
berbagai gejala, digarapnya dalam karya itu. Malahan judul (bukan dari
Aristoteles sendiri) dari buku itu - yang berarti “sesudah fisika” telah
menjadi nama dari cabang filsafat yang sampai sekarang disebut
metafisika. Buku Fisika karya Aristoteles memuat cara pendekatannya pada
gejala-gejala alam guna dipelajari dari sudut filsafat. … dipelajari
dari sudut filsafat. Misalnya, mengenai gejala perubahan di mana
Aristoteles memakai lagi kedua istilah “kemungkinan” (Yunani: “dynamis“,
Latin: “potentia“) dan aktualitas (Latin: “actus“), yang sudah
disinggung di atas ini, sehubungan dengan susunan individu sebagai
anggota dari suatu “jenis” atau “spesies”. Maka dari itu, dalam wilayah
tinjauan terhadap pertentangan antara “tetap” (Parmenides) dan
“berubah-ubah” (Herakleitos), Arsitoteles berusaha mengatasi masalahnya
dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala itu. Baik di dalam
karya Parmenides maupun Herakleitos sama-sama termuat uraian termasyur
mengenai apa itu waktu. Kontinuitas maupun “keterpecahan” atau
“ketersebaran” yang menjadi ciri waktu dianalisis oleh Aristoteles.
Masih
ada satu bidang lain dari filsafat Aristoteles yang amat mempengaruhi
filsafat seterusnya, yakni etika, dan sebagai lanjutannya filsafat
negara. Etika Aristoteles bertitik pangkal pada kenyataan bahwa manusia
hendak mengejar kebahagiaan (”eudaimonia“). Sarana-sarana dan
upaya-upaya yang dipilih manusia, dinilai berdasarkan tujuan tersebut.
Kebahagiaan itu menyangkut manusia jiwa-raga sebagai anggota masyarakat,
karena manusia ialah makhluk yang “hidup ber-polis” (polis: kota
sebagai kesatuan negara pada masa Yunani kuno, sudah lama sebelum
Aristoteles). Manusia ialah “zoon politikon“. Ciri manusia sebagai
makhluk hidup adalah hidup dalam polis, maka Aristoteles sangat
menekankan sosialitas manusia. Masyarakat dalam bentuk negara itu
dilihat Aristoteles sebagai suatu lembaga kodrati (”natural
institution“), yaitu bukan berdasarkan persetujuan (”convention“) saja
seperti diajar oleh para sofis dan skeptikus pada masa itu. Dengan
demikian semua warganegara wajib takluk pada negara, kepada para
pemimpin dan kepada undang-undang. Dalam filsafatnya, Aristoteles
mempunyai kecenderungan ke arah suatu totalitarisme negara. Negara itu
di atas keluarga dan negara pun menyelenggarakan pendidikan. Pemimpin
negara dapat dibentuk menurut beberapa pola berdasarkan pengamatan dan
data-data yang diperoleh Aristoteles, antara lain melalui para muridnya.
Monarki ialah cara pemerintahan di bawah satu (”monos“) orang saja, yang dapat merosot menjadi tirani.
Aristokrasi merupakan cara pemerintahan di bawah sekelompok orang yang dinilai
sebaik yang terbaik (”aristoi “), dan dapat merosot menjadi oligarki (dikuasai oleh “segerombolan” orang yang bersekongkol).
Demokrasi
yang diberi juga nama “politeia” berada di bawah kuasa rakyat
(”demos“), yang dapat merosot menjadi anarki (tanpa “ arkhe” atau asas).
Aristoteles tidak memilih salah satu dari ketiga bentuk dasar itu. Ia
juga tidak suka memakai perbandingan dengan susunan manusia seperti
Plato.
Meskipun tidak akan diuraikan panjang lebar, pengaruh
filsafat keindahan dan estetika Aristoteles perlu disinggung di sini.
Anggapan Aristoteles mengenai “katharsis” (pemurnian) yang terjadi dalam
diri para penonton drama, merupakan suatu tinjauan atas apa yang
ternyata berlangsung, lalu diusahakan agar diberi terang teoretis atas
peristiwa yang telah diamati itu. Akhirnya, dalam segala cabang filsafat
yang sudah secara singkat kita tinjau, Aristoteles bertitik tolak pada
apa yang diamati dalam hidup manusia dan hidup masyarakat. Katakanlah
dari perbuatan-perbuatan dan tingkah laku mereka. Artinya dari “praxis”
yang nyata, berdasarkan data-data yang banyak itu, ia berusaha maju
sampai pada suatu “ theoria” yang meliputi segala data pengamatan itu.
Kemudian teori tersebut mudah-mudahan dapat menyediakan suatu “terang
teoretis” atas data-data
itu sedemikian rupa sehingga karena
teori itu praksis tadi lebih masuk akal dan malahan mungkin untuk
seterusnya dapat direncanakan dengan lebih teratur dan lebih sempurna.
Demikianlah “perjalanan mondar-mandir” mengenai logika Aristoteles.
Berkat Aristoteles kedua kata Yunani, praksis atau praktek dan teori
telah menjadi milik ratusan bahasa di permukaan bumi. Dan, latar
belakang pikirannya pun meresap. Akhirnya patut dicatat bahwa
Aristoteles berbeda dari Plato. Ia menjadi perintis pemeriksaan dalam
ilmu-ilmu alam, termasuk ilmu hayat. Banyak hasil penelitian dan
pengamatannya tampak ditegaskan kembali oleh pemeriksaan-pemeriksaan
pada abad ke-20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar