MATEMATIKA 3/A – 07
KEBENARAN
AKADEMIK DILIHAT DARI KAJIAN POSITIVISME
Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John
M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari
negatif), tegas, pasti, meyakinkan. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu
aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari
apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa
pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah
diketahui adalah yang faktual dan yang positif.
Ajaran positivisme muncul pada abad 19 dan termasuk jenis
filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan
diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman.
Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang
objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau
pengalaman yang subjektif.
Positivisme
secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat
bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami
sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif
bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau
terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk
berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara
terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian
kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi.
Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
Tokoh-tokoh
filsafat positivisme yaitu,
a). Auguste Comte ( 1798 – 1857 )
Beliau adalah orang yang menokohi munculnya aliran
positivisme. Ia lahir di Hontpeller, Perancis. Sebuah karya penting “ Cours de
Philisophia Positivie “ (Kursur tentang filsafat positif). Ia berpendapat bahwa
indera itu amat penting dalam memperoieh pengetahuan, tetapi harus
dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera
akan dapat dikoreksi lewat eksperimen-eksperimen memerlukan ukuran yang jelas.
Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan
kiloan, dsb. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas.
Ketika panas kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains
benar-benar dimulai.
Jadi pada dasarnya positifisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri.
Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan
kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah dengan memasukkan experiment dan
ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positifisme itu sama dengan empirisme plot
rasionalisme. Hanya saja, pada empirisme menerima pengalaman batiniyah,
sedangkan pada positivisme membatasi pada perjalanan objektif (indera) saja.
b). H. Taine ( 1828 – 1893 )
Ia mendasarkan
diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
c). Emile Durkheim ( 1852 – 1917 )
Ia menganggap
positivisme sebagai asas sosiologi.
d). John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
Ia adalah seorang filosof Inggris yang
menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.
Dalam perkembangannya aliran ini diletakkan dalam hubungan
statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara
gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala. Bagi Comte untuk
menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya
tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
1.
Metode
ini diarahkan pada fakta-fakta.
2.
Metode
ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup.
3.
Metode
ini berusaha ke arah kepastian.
4.
Metode
ini berusaha ke arah kecermatan.
Menurut Auguste Comte, perkembangan pemikiran
manusia berlangsung dalam tiga tahap, yaitu :
1.
Tahap teologis
Pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya
kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama). Di sini manusia percaya kepada
kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, dibalik setiap kejadian
tersirat adanya maksud tertentu. Pada tingkatan teologis ini pola berpikir
manusia dikuasai oleh tahayul dan prasangka. Kepercayaan atas kekuatan gaib di
luar manusia sangat mendasari cara berpikir manusia
Pada tahap ini, comte membaginya lagi ke dalam
beberapa periode, yaitu ;
a.
Fetisisme,
merupakan bentuk pemikiran yang dominan dalam masyarakat primitive, meliputi
kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri.
b.
Politeisme,
yaitu kepercayaan akan hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda
alam, terus mengontrol semua gejala alam.
c.
Monoteisme,
yaitu kepercayaan akan sesuatu yang tertinggi.
2.
Tahap metafisis
Pada tahap metafisis manusia hanya sebagai
tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang
tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai
pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam. Artinya, pola berpikir
manusia telah meninggalkan teologis, namun masih berpikir abstrak, masih
mempersoalkan hakikat dan segala yang ada, termasuk hakikat yang gaib juga.
3.
Tahap
ilmiah/positif
Pada tahap ini
manusia telah mulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologis dan
metafisis tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum yang
berasal dari fakta-fakta pengamatan dengan memakai akal. Manusia membatasi dan
mendasarkan pengetahuannya pada yang dapat dilihat, dapat diukur, dan dapat
dibuktikan.
Kebenaran yang
dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori
korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat
fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. atau dengan kata lain,
suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan
tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh
pernyataan tersebut.
Positivisme
mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur.
Terukur inilah sumbangan penting positivisme. Misalnya, dalam pelajaran fisika,
hal panas. Positivisme mengatakan bahwa air mendidih adalah 100 derajat
celcius, besi mendidih 1000 derajat celcius, dan yang lainnya misalnya tentang
ukuran meter, ton, dan seterusnya. Ukuran - ukuran tadi adalah operasional,
kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat.
Menurut Adian (2006), positivisme melembagakan
pandangan objektivistik dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science).
Doktrin ini mengatakan bahwa seluruh ilmu harus berada dalam payung
positivistik. Doktrin ini mengajukan kriteria-kriteria bagi ilmu pengetahuan,
sebagai berikut:
·
Bebas
nilai
·
Menggunakan
metode verifikasi-empiris
·
Bahasa
yang digunakan harus analitik dan bisa diperiksa secara empiris
·
Bersifat
eksplanasi
Filsafat Positivisme mengarahkan agar pendidikan ini
mengarah kepada hal yang baik, baik dari segi intelektual dan memiliki daya
analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi pelajaran menjelaskan
terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir kenapa hujan itu
terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari hal
ini akan mewujudkan generasi kreatif yang dapat berkontribusi dalam pembangunan
bangsa agar menjadi lebih baik dan berdaya saing.
Pendidikan di arahkan pada suatu tujuan yang
realistik. Pengembangan kurikulum ditekankan pada suatu proses penciptaan anak
didik yang rasional dan empiris. Masyarakat harus menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan
tidak bergantung pada mitos dan berbagai legenda karena semua itu akan membuat
masyarakat bodoh. Kehidupan bergantung pada kebutuhan yang nyata, pasti, dan
rasional. Oleh karena itu masyarakat harus melihat pengetahuan dengan
memperdalam pendidikan yang empiris dan realistik. Pendidikan harus berbasis
pada penelitian dan kebenaran yang pasti dan inderawi.
Daftar
Pustaka
almusthofablogspot.blogspot.com/2012/05/aliran-positivisme.html
kuliahgratis.net/aliran-positivisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar